Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa sebagian besar platform AI yang kita gunakan sehari-hari berasal dari luar negeri? Mulai dari ChatGPT hingga Midjourney, teknologi ini didominasi oleh perusahaan asing dengan nilai-nilai dan kepentingan yang belum tentu sejalan dengan budaya Indonesia. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, menegaskan bahwa Indonesia harus segera menyiapkan regulasi kecerdasan artifisial (AI) sebagai langkah awal menuju kedaulatan digital.
Dalam keterangan pers yang diterima Senin (15/7), Nezar menjelaskan bahwa geopolitik pengembangan AI harus menjadi pertimbangan utama dalam merancang regulasi. “Atlas of AI harus jadi pedoman untuk membuat regulasi AI untuk Indonesia kalau kita mau teknologi yang berdaulat,” ujarnya. Pernyataan ini muncul di tengah maraknya diskusi tentang pentingnya regulasi AI, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat global.
Lalu, bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan potensi besar ini untuk menciptakan ekosistem AI yang berdaulat? Jawabannya terletak pada kolaborasi antara regulasi, riset, dan pengembangan talenta digital.
Regulasi AI: Langkah Awal Menuju Kedaulatan Digital
Nezar menekankan bahwa Indonesia perlu memiliki regulasi khusus untuk AI yang tidak hanya mengatur penggunaannya tetapi juga memastikan teknologi ini berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal. Saat ini, sebagian besar model AI yang digunakan di Indonesia masih mengadopsi framework dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan bias dalam output AI, termasuk stereotip terhadap kelompok atau ras tertentu.
“Jadi itu membuktikan ya ada upaya untuk melakukan filtering dan lain sebagainya sesuai dengan kepentingan yang ada,” tutur Nezar. Regulasi yang kuat akan membantu Indonesia memfilter konten dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya lokal, sekaligus membuka peluang untuk mengembangkan AI yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Baca Juga:
Potensi SDA dan Tantangan Riset di Indonesia
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sangat strategis untuk industri chip dan komputasi AI, seperti nikel dan boron. Namun, Nezar mengakui bahwa belum ada desain besar yang mampu mengintegrasikan kekayaan ini ke dalam ekosistem global AI. Salah satu kendala utama adalah rendahnya anggaran riset dan pengembangan (R&D) Indonesia, yang hanya mencapai 0,24% dari total GDP.
“Tanpa R&D ini agak susah kita bisa mengembangkan AI yang berdaulat, AI yang milik kita sendiri,” ujar Nezar. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu membangun pusat riset dan cluster komputasi dalam negeri yang kuat, baik dari sisi hardware, infrastruktur, maupun kapasitas data.
Talent Digital: Kunci Utama Transformasi
Selain regulasi dan riset, Nezar menegaskan bahwa pengembangan talenta digital menjadi proyek nomor satu untuk mencapai kedaulatan digital. Indonesia diproyeksikan membutuhkan lebih dari 12 juta talenta digital pada 2030, namun saat ini masih kekurangan sekitar 2,7 juta. Kesenjangan ini bisa menjadi penghambat serius dalam proses transformasi digital.
“Infrastruktur itu mungkin bisa terbatas, tapi kalau orangnya kreatif dia bisa taklukkan keterbatasan itu,” kata Nezar, mencontohkan kesuksesan China dan India dalam mengatasi keterbatasan infrastruktur melalui inovasi dan talenta unggul.
Baca Juga:
Transformasi digital tidak boleh dilihat secara sektoral, melainkan sebagai ekosistem yang saling terkait dari keamanan, ekonomi, pendidikan, hingga perlindungan nilai lokal. Dengan regulasi yang tepat, riset yang memadai, dan talenta digital yang unggul, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam era AI global.