Bayangkan Anda diminta membangun pesawat dari mainan kayu dan menerbangkannya ke Kongo dalam 17 menit. Mustahil, bukan? Itulah kira-kira analogi untuk rencana Donald Trump memaksa pabrikan smartphone memindahkan produksi ke Amerika Serikat. Dalam sebuah pengumuman kontroversial pekan lalu, mantan presiden AS itu mengancam akan mengenakan tarif impor 25% pada Apple dan Samsung jika tak segera memproduksi ponsel di tanah AS.
Trump bukan kali pertama mengumbar wacana proteksionis. Sejak era kepresidenannya, ia kerap mendorong “Made in America” dengan tarif sebagai senjata. Namun kali ini, targetnya adalah industri yang 98% komponennya bergantung pada rantai pasok global—terutama China. Sebuah laporan Bloomberg mengungkap, Trump bahkan menolak kompromi Tim Cook yang berencana memindahkan sebagian produksi Apple ke India.
Lantas, mengapa impian Trump tentang iPhone atau Samsung Galaxy S25 buatan AS hanyalah utopia? Mari kita bedah tiga tantangan utama yang membuatnya seperti menyuruh Smithers terbang dengan Spruce Moose—pesawat mainan dalam serial The Simpsons.
Infrastruktur: AS Tak Punya “Ekosistem” Smartphone
Pabrik smartphone bukan sekadar gedung dengan mesin. Dibutuhkan jaringan kompleks dari ratusan supplier untuk komponen seperti chipset, layar, hingga baterai. China telah membangun ekosistem ini selama 30 tahun—dengan koneksi antara pabrik, laboratorium R&D, dan pelabuhan yang efisien. AS? Hampir nol.
Misalnya, untuk membuat chipset seperti Snapdragon 8 Elite 2, AS hanya punya Intel di Oregon. Itu pun fokus pada CPU komputer. Belum lagi pabrik layar OLED atau lensa kamera yang nyaris tak ada. Membangun dari nol butuh investasi triliunan dolar dan waktu 10-15 tahun—jauh dari target Trump yang ingin hasil instan “paling lambat Juni”.
Baca Juga:
SDM dan Bahan Baku: Dua Masalah Pelik
AS kekurangan insinyur dan buruh terampil di bidang manufaktur elektronik. Data Bureau of Labor Statistics menunjukkan hanya 12% tenaga kerja AS yang bergerak di industri—itu pun didominasi otomotif. Melatih pekerja baru butuh tahunan, sementara impor tenaga ahli dari Asia akan berbenturan dengan kebijakan imigrasi Trump sendiri.
Faktor lain adalah bahan baku. 17 dari 35 mineral langka untuk komponen smartphone—seperti Skandium (Sc) untuk baterai—nyaris tak ditambang di AS sejak 1970-an. China menguasai 80% pasokan global. “AS bahkan tak punya pabrik pemurnian mineral langka,” ujar Paul Saunders dari Center for the National Interest.
Biaya Produksi: Harga Ponsel Bisa Melambung 300%
Biaya produksi di AS 4-5 kali lebih mahal daripada China. Upah minimum AS (US$7,25/jam) versus China (US$2-3/jam) adalah salah satu penyebab. Belum lagi biaya listrik, transportasi, dan kepatuhan regulasi yang lebih ketat. Analisis TechInsight memperkirakan, iPhone 16 yang saat ini US$799 bisa melonjak hingga US$2.500 jika dibuat sepenuhnya di AS.
Alternatifnya—seperti dilakukan Samsung dengan merakit sebagian komponen di Texas—tetap akan menaikkan harga 25-40%. Bandingkan dengan tarif Trump yang “hanya” 25%. Lebih masuk akal bagi perusahaan menaikkan harga akibat tarif daripada memindahkan pabrik.
Masa Depan: Tarif atau Relokasi, Konsumen yang Terpukul
Dilema ini mengingatkan pada era 1980-an saat AS memaksa Jepang memindahkan pabrik otomotif. Bedanya, kompleksitas smartphone jauh lebih tinggi. Jika Trump bersikeras, opsi realistisnya hanya dua: (1) Perusahaan menyerap tarif dan pertahankan model bisnis saat ini, atau (2) Menaikkan harga dan risiko kehilangan pasar.
Keduanya berujung pada satu titik: konsumen AS yang harus merogoh kocek lebih dalam. Dengan Galaxy S25 yang diprediksi tembus US$1.000, kenaikan 25% berarti tambahan US$250. Fantastis untuk pasar di mana 40% pembeli mengganti ponsel tiap 2-3 tahun.
Jadi, bisakah Trump mewujudkan mimpinya? Kecuali AS menemukan cara memproduksi smartphone seefisien China—plus konsumen rela membayar premium—Spruce Moose-nya Trump akan tetap jadi mainan yang tak bisa diterbangkan.