Pernahkah Anda membayangkan baterai yang lebih aman, murah, dan ramah lingkungan? Para ilmuwan di Brookhaven National Laboratory dan Stony Brook University baru saja melangkah lebih dekat ke realitas itu dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) dan teknologi sinar-X canggih. Mereka berhasil mengungkap rahasia di balik kinerja optimal baterai zinc-ion, yang bisa menjadi solusi penyimpanan energi skala besar di masa depan.
Baterai zinc-ion, terutama yang menggunakan elektrolit berbasis air, telah lama dianggap sebagai kandidat potensial untuk menggantikan baterai lithium-ion yang lebih mahal dan berisiko. Namun, tantangan utama adalah reaksi sampingan yang menguras energi, seperti pemecahan molekul air yang menghasilkan gas hidrogen. Temuan terbaru ini menjawab teka-teki tersebut dengan pendekatan revolusioner.
Tim peneliti menggunakan kombinasi AI dan eksperimen di National Synchrotron Light Source II (NSLS-II) untuk memetakan interaksi ion zinc dan klorida dengan air pada berbagai konsentrasi. Hasilnya? Mereka menemukan bahwa elektrolit dengan konsentrasi garam zinc klorida (ZnCl2) sangat tinggi—disebut “water-in-salt”—ternyata mampu menstabilkan molekul air sekaligus mempertahankan konduktivitas listrik yang dibutuhkan.
AI: Mata Super untuk Melihat yang Tak Terlihat
Mengapa pendekatan AI menjadi kunci utama? Deyu Lu, ilmuwan dari Brookhaven Lab, menjelaskan bahwa simulasi konvensional tidak mampu menangani kompleksitas interaksi atom dalam skala waktu yang relevan. “Butuh waktu bertahun-tahun dengan komputasi biasa,” ujarnya. Di sinilah AI berperan sebagai “mata super” yang bisa melihat detail tak terlihat.
Chuntian Cao, penulis utama studi yang diterbitkan di PRX Energy ini, menggambarkan prosesnya seperti melatih asisten virtual. Tim memulai dengan data simulasi terbatas sebagai “set pelatihan”, lalu AI secara iteratif memprediksi interaksi yang lebih kompleks. Ketika prediksi AI tidak konsisten, tim kembali ke perhitungan konvensional untuk mengoreksi—sebuah metode yang disebut active learning.
Rahasia di Balik Konsentrasi Tinggi
Model AI mengungkap dua keuntungan utama elektrolit “water-in-salt”:
- Stabilitas Air: Pada konsentrasi garam tinggi, ikatan hidrogen antar molekul air turun drastis—hanya tersisa 20%. Jaringan ikatan yang biasanya membuat air reaktif menjadi terputus, mengurangi risiko pemecahan molekul.
- Transportasi Ion yang Efisien: Meski membentuk gugus bermuatan negatif, konsentrasi sangat tinggi justru menciptakan “gunung es” besar yang tidak menghambat konduktivitas. Ion-ion kecil yang tersisa bisa bergerak cepat di sekitarnya.
Baca Juga:
Validasi dengan Sinar-X Berpresisi Tinggi
Temuan AI tidak serta merta dipercaya begitu saja. Tim melakukan validasi eksperimental di fasilitas sinar-X NSLS-II, menggunakan teknik Pair Distribution Function (PDF) untuk memetakan jarak antar atom. “Ini seperti foto keluarga atom yang menunjukkan siapa berteman dengan siapa,” canda Milinda Abeykoon, ilmuwan penanggung jawab beamline.
Hasilnya? Prediksi AI dan data eksperimen bersesuaian dengan akurasi mengesankan. “Kami sekarang punya peta lengkap bagaimana ion-ion bersolvasi dalam elektrolit ini,” kata Shan Yan, salah satu peneliti.
Esther Takeuchi, ketua departemen ilmuwan di Brookhaven, menekankan bahwa kolaborasi multidisiplin ini—menggabungkan teori, eksperimen, dan AI—adalah contoh sempurna bagaimana siapapun bisa mempercepat inovasi. Sementara Amy Marschilok menambahkan, baterai zinc-ion yang aman dan terjangkau ini sangat cocok untuk penyimpanan energi skala jaringan listrik.
Dengan perkembangan baterai solid-state dan teknologi wearable yang juga sedang panas, temuan ini membuka babak baru dalam perlombaan penyimpanan energi. Siapa sangka, rahasia masa depan energi mungkin tersembunyi dalam interaksi antara garam, air, dan kecerdasan buatan?