JAKARTA – Sebuah ajang tahunan yang dihelat di San Fransisco, California, AS biasanya menunjukkan bagaimana para pengembang bersama-sama mendiskusikan desain terbaru. Tapi, kini pertunjukan tersebut adalah untuk teknologi virtual reality (VR) teranyar.
Seperti dikutip dari Cnet, Minggu (01/03/2015), Game Developers Conference di San Fransisco pada minggu ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya, ajang ini berisi pertemuan para pengembang, pembuat game, dan perusahaan teknologi besar yang mendiskusikan teknologi game terbaru.
Kini, ajang ini lebih untuk membahas perangkat VR terbaru yang semakin dekat menjadi produk konsumer. GDC bahkan memperkirakan, tidak lama lagi produk-produk VR akan masuk ke rumah tangga pengguna di dunia.
Hal ini juga didorong oleh pabrikan besar yang merilis produk-produk VR. Misalnya saja Sony, yang merilis perangkat VR untuk video game pada tahun lalu. Singkat kata, industri VR akan menjadi pasar niche bagi perusahaan Jepang, sebab pangsa pasar VR diperkirakan mencapai USD 77 Miliar.
Perangkat Sony bernama Morpheus, diperkirakan akan menjadi salah satu bintang di ajang GDC. Facebook juga tidak ketinggalan dengan mengakuisisi perusahaan pengembang VR bernama Oculus VR, dengan nilai akuisisi ke perusahaan pengembangnya senilai USD 2,3 miliar.
“Karena Facebook ada di belakang industri ini, maka setiap orang berfikir untuk menjajal unit VR ini,” kata Michael Pachter, analis dari Wedbush Securities.
Samsung juga tidak ketinggalan memperkenalkan perangkat VR-nya yang dibanderol dengan harga USD 250, untuk kemudian dihubungkan dengan smartphone seri Galaxy-nya. Sementara Google bekerja sama dengan LG dan produsen mainan Mattel.
Tak ketinggalan, Microsoft juga turut meramaikan pasar ini dengan proyek HoloLens.
Pachter menambahkan, saat ini penggunaan VR sudah meluas tidak hanya untuk game tetapi juga untuk film, olahraga, edukasi dan kesehatan.
Tapi tentu saja, perangkat VR tidak selamanya dianggap ‘keren’. Ada juga ketakutan akan dampak VR terhadap kesehatan. Beberapa lembaga seperti US Army bahkan enggan menggunakan alat simulasi dengan Oculus Rift dengan alasan kesehatan. Demikian juga Electronic Arts, salah satu pengembang game terbesar saat ini. [AI/IF]