Telset.id,Jakarta – Direktur Teknologi XL Axiata, Yessie D Yosetya, menilai perlu ada model bisnis khusus untuk 5G di Indonesia. Tujuannya untuk menekan biaya pengembangan agar biaya belanja modal atau capex perusahaan tidak membengkak.
Yessie menilai pembangunan jaringan 5G XL secara mandiri oleh masing-masing operator cenderung tidak efektif. Alasannya pembangunan jaringan generasi kelima tersebut membutuhkan biaya yang besar, sehingga akan mempengaruhi Capex perusahaan.
{Baca juga: Uji Coba 5G, XL Axiata Jajal Komunikasi via Hologram}
“Yang namanya capital untuk infra telekomunikasi itu besar. Tiap tahun aja kita keluarkan Rp 7 Triliun tapi 4g belum seluruh indonesia. Bayangkan kalau untuk jaringan 5G,” ujar Yessie dalam acara “Selular Telco Outlook 2020” di Jakarta, Senin (02/12/2019).
Untuk itu Yessie menilai perlu ada model bisnis khusus untuk 5G XL. Pertama dengan model bisnis Network Company. Lewat model ini beberapa operator dapat membangun infrastruktur jaringan yang sama untuk kemudian dipakai sesuai kebutuhan masing-masing operator.
“Jadi kalo misalnya kita punya bisnis model ada network company atau infra company, jadi mereka yang bangun sekali dan yang lain menggunakan network yang sama jauh lebih efektif dan efisien,” tutur Yessie.
Model kedua disebut dengan berbagi frekuensi atau Frequency Sharing. Melalui model tersebut Yessie yakin biaya investasi bisa ditekan sehingga perusahaan bisa lebih hemat untuk mengeluarkan biaya pembangunan 5G.
{Baca juga: XL dan Pemprov DKI Uji Coba 5G di Kota Tua}
“Kedua frekuensi sharing, jadi dengan hak tersebut harusnya kita tidak perlu investasi 2 kali. Mungkin ini hanya perlu 1,2 atau 1,5 kali,” tambah Yessie.
Opsi terakhir yang dijelaskan Yessie adalah konsolidasi perusahaan. Walaupun bukan merupakan opsi utama namun konsolidasi perusahaan bisa saja dilakukan untuk membuat industri lebih sehat dan pembangunan internet super cepat ini bisa segera terwujud. “Konsolidasi adalah jalan lain,” tutup Yessie. [NM/HBS]