Buzzer vs Media Mainstream: Dengungan “Tetangga yang Berisik”

Sebagai pemain lama, media mainstream tak perlu panik dengan kehadiran “tetangga yang berisik”, yakni para buzzer atau influencer. Benturan antara buzzer dan media mainstream seharusnya tidak perlu terjadi, karena keduanya bisa saling linear dalam bekerja, sesuai dengan peran dan porsinya masing-masing. Meski begitu, para penggiat media sosial juga diharapkan tak abai dengan etika jurnalistik dalam memproduksi konten.

Telset.id, Jakarta –  Bagi para fans Manchester United, tentu masih ingat dengan sebutan ‘Noisy Neighbour’ atau ‘tetangga yang berisik’ yang disematkan untuk Manchester City. Kejadian itu bermula ketika Carlos Tevez hijrah ke Manchester City pada musim 2009/2010.

Dan saat itu para fans City membuat poster besar gambar Tevez dengan latar belakang biru muda dan bertuliskan ‘Welcome to Manchester’. Ternyata hal itu membuat Sir Alex Ferguson murka. Menurut Sir Alex poster itu sangat norak dan provokatif.

“Kadang-kadang Anda mempunyai ‘tetangga yang berisik’. Anda tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka akan selalu berisik. Anda harus tetap menjalankan hidup Anda, nyalakan televisi dan naikkan volume televisimu,” ujar Sir Alex dengan kesalnya.

Ungkapan di atas mungkin tidak sepenuhnya tepat menggambarkan fenomena buzzer di media sosial saat ini. Namun cerita tetangga yang berisik tadi  hanya ingin memberikan ilustrasi tentang “suara dengungan” para buzzer yang mulai sedikit ‘mengganggu’ sang tetangga, yakni media mainstream.

Baiklah kita tinggalkan dulu cerita soal ‘tetangga yang berisik’ di kota Manchester, dan kita kembali ke situasi di Tanah Air.

Beberapa bulan terakhir, Indonesia diramaikan dengan perdebatan soal buzzer. Para penggiat media sosial akhirnya menjadi kambing hitam sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab dengan masalah tersebut.

Alhasil, terjadi pertentangan dan saling serang antara para penggiat media sosial dan beberapa media mainstream di Tanah Air. Semisal isu “buzzer istana” yang dihembuskan Koran Tempo, akhirnya menjadi amunisi untuk menyerang para buzzer. Sontak, tulisan itu mendapat perlawanan dari para penggiat media sosial yang dituding sebagai buzzer bayaran.

{Baca juga: Soal Buzzer Medsos, Menkominfo: Tidak Melanggar Hukum}

Fenomena buzzer sebenarnya sama seperti saat media sosial pertama kali dijadikan ajang untuk melakukan perang opini, dan mereka berusaha memenangkan opini publik. Di alam demokratis yang sifatnya kontestasi seperti sekarang, maka yang terjadi adalah, siapa yang menang secara opini, maka dia akan dianggap lebih populer dan yang paling benar.

Hal itu muncul karena ruang-ruang publik sekarang tidak lagi dipenuhi media mainstream saja, tetapi juga media sosial yang sama-sama memengaruhi dan berusaha meyakinkan publik terhadap satu informasi atau isu.

Jadi sebenarnya yang terjadi saat ini adalah konsekuensi real dari kehadiran ruang publik dan juga sistem demokrasi. Makanya muncul lah buzzer dan influencer, atau kelompok-kelompok yang berusaha untuk berperang atau memenangkan opini di ruang publik.

Buzzer atau influencer sendiri ada dua jenis. Ada yang dibayar dan ada juga yang hanya sukarelawan. Kalau buzzer yang masuk kategori sukarelawan, biasanya motif mereka adalah kesamaan ideologis, karena memang dia setuju dengan isu ini.

Sementara buzzer yang dibayar biasanya memiliki motif ekonomi. Artinya, selain mendukung, dia juga profesional di bidang tersebut, sehingga mendapatkan bayaran sesuai pesanan.

Hal inilah yang akhirnya menjadi perdebatan, dimana lagi-lagi jagat digital sebagai ruang publik baru, menghadirkan fenomena sosial baru yang kian memanas, khususnya terkait peran para pendengung alias buzzer tadi.

Tak senang dipojokkan, para penggiat media sosial atau sering dicap buzzer ini melakukan perlawanan terhadap media mainstream dengan mengatakan bahwa kehadiran buzzer merupakan bentuk alternatif media dalam mengambil posisi sebagai pembentuk opini.

Hal tersebut menjadi seperti antitesis dari keberadaan media mainstream yang sejatinya juga memainkan peran serupa. Bahkan bisa dikatakan fungsi edukasi media mainstream bisa sangat partisan, meski dipoles secara halus dengan memperhatikan etika jurnalistik.

Mengambil pola serupa, buzzer menggunakan konsep jejaring sosial di dunia maya, untuk melakukan caranya sendiri melakukan penggalangan opini. Akibatnya, kita bisa melihat perang opini semakin riuh terjadi di Indonesia.

Masalahnya, para pendengung ini kerap masih terlihat gagap mengantisipasi isu. Pilihan narasi dalam mengangkat sebuah isu terlihat seragam, sehingga menimbulkan kesan isu yang diangkat seperti diorkestrasi. Akibatnya, argumen yang dibangun terkesan timpang. Pada kajian post truth, hal ini bisa dipahami karena fakta rasional tertutupi oleh aspek emosional.

Beberapa waktu lalu, University of Oxford merilis hasil penelitiannya yang tertuang dalam The Global Disinformation Order 2019, Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Di situ, mereka menyebutkan bahwa media sosial yang beberapa diantaranya Facebook dan Twitter, kerap kali menjadi sarana bagi kepentingan kekuasaan untuk melakukan manipulasi informasi.

{Baca juga: Oxford University: Buzzer Politik Indonesia Digaji Rp 50 Juta}

Pemilihan presiden Amerika Serikat yang akhirnya dimenangkan Donald Trump merupakan contoh konkretnya. Tidak salah jika Oxford kemudian memakai istilah disinformasi, karena kekeliruan informasi akan melahirkan persepsi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh si penyebar informasi. Dan pada tataran lanjutan, istilah disinformasi akan berasosiasi pada kabar bohong alias hoaks.

Di era media sosial seperti sekarang, ruang digital bisa menghadirkan efek echo chamber. Maksudnya, ruang gema itu memiliki kemampuan untuk memperbesar efek paparan informasi. Begitu banyaknya informasi yang berserakan di dunia maya, pada akhirnya menciptakan kebingungan publik sebagai audiens.

Dalam situasi kebingungan itu, algoritma dari platform media sosial juga membentuk filter bubble yang semakin memerangkap orang untuk menelan informasi sejenis yang disukai. Dan parahnya, semua itu akan terpapar langsung pada news feed di media sosial kita.

Maka jangan heran, ketika media mainstream bertindak partisan, maka buzzer juga akhirnya sepertu mendapat angin untuk mengambil kesempatan setara dengan media mainstream di jagat maya.

Pada akhirnya, kelompok buzzer atau influencer ini menjadi pasukan terdepan untuk “membela” orang-orang yang memakai atau membayar mereka, baik itu pemerintah yang berkuasa, partai politik, atau bisa juga produsen produk tertentu.

Pasukan buzzer ini bisa datang dari barisan pengagum, simpatisan hingga loyalis yang fanatik. Mereka ini sebagai supporter layaknya fans club sepakbola, kemudian berperilaku menjadi hooligans yang membentuk pasukan die hard yang membela junjungannya.

Perang Opini

Jika melihat pola kerjanya, buzzer dan media mainstream sebenarnya bisa saling linear dalam bekerja, terutama saat ada persamaan isu yang ingin di-share atau dibagikan. Namun, faktanya di lapangan, baik pemilik pasukan buzzer (pemodal) dan media mainstream saling berbenturan, karena adanya perbedaan kepentingan dalam mengangkat sebuah isu yang akan di-framing.

Persoalannya sekarang adalah siapa yang bisa menguasai informasi dan opini publik? Buzzer bekerja menggiring opini yang dibuat oleh opinion maker (pembuat opini), sedangkan media mainstream lebih fokus pada framing pemberitaan yang berasal dari rapat meja redaksi.

Hal ini diakui oleh Eko Kuntadhi, seorang penggiat media sosial yang dulunya juga merupakan eks jurnalis. Menurutnya, cara kerja buzzer dan media mainstream hampir sama. Kalau media mainstream kerjanya lebih kolektif, sedangkan buzzer sangat personal. Itu sebabnya, karena buzzer sifatnya sangat personal, mereka mungkin akhirnya sering jadi agak bias.

“Jadi jangan harap ada obyektifitas di media sosial, karena semuanya subyektif. Karena sebenarnya di medsos itu orang hanya ingin tahu opini sebuah kejadian. Makanya orang cenderung ingin tahu tentang opini si buzzer, bukan obyektifitas sebuah kejadian atau berita,” kata Eko saat berbincang dengan Telset.id di Bakoel Koffie Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurutnya, masalah isu pertentangan buzzer dan media mainstream ini menjadi semakin kencang diributkan karena ada sejumlah orang yang mengunakan kacamata zaman ‘bahelak untuk menilai persoalan di era digital seperti sekarang.

{Baca juga: Pasukan Buzzer Sulit Dijerat UU ITE, Kenapa?}

“Seolah-olah di medsos itu kualifikasinya harus sama dengan media mainstream, sehingga begitu ada opini yang disebarkan pasti berbeda dengan para pakar,” sebutnya..

Menurut Eko, sebenarnya yang mengangkat isu seolah-olah terjadi persaingan atau pertentangan antara buzzer dan media mainstream itu adalah media mainstream sendiri. Padahal, menurutnya, para penggiat media sosial adalah konsumen media juga.

“Karena kami penggiat medsos ini kan juga konsumen media (mainstream), jadi kita berhak dong mengkritik konten mereka, dan juga mengkritik cara media menyajikan berita atau cara memframing sebuah isu,” ujarnya.

Lantas ada yang meminta pemerintah menertibkan buzzer. Tapi permintaan itu malah dianggap lucu, karena siapa yang mau tertibkan, dan bagaimana caranya? Pemerintah sendiri tidak bisa menutup akun medsos. Yang bisa dilakukan pemerintah mungkin hanya menutup platform media sosialnya. “Jadi gimana caranya pemerintah disuruh menertibkan buzzer, gak bakal bisalah,” tandasnya.

Jalankan Kaidah jurnalistik?

Meski pola kerjanya sering diributkan, namun Eko sebagai orang yang pernah menjadi seorang jurnalis, mengaku masih tetap menerapkan kaidah-kaidah jurnalistik saat menyebarkan informasi atau isu di media sosial. Misal, dalam hal memverifikasi sebuah isu atau berita.

Tapi karena di medsos itu lebih banyak adalah opini, maka saat melihat sebuah fenomena, maka para pemain media sosial akan berkomentar sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Dan tidak ada yang bisa mengatakan opini itu salah atau benar, karena itu sangat subyektif.

Sementara dari sisi kualitas informasi, media mainstream sebenarnya lebih banyak diuntungkan dengan adanya Undang-undang Pers. Sebuah media apabila salah menulis atau menyebarkan sebuah informasi yang salah, konsekuensinya mereka wajib membuat hak jawab.

Artinya, mekanisme UU Pers membuat media mainstream lebih diproteksi pada saat mereka berbuat salah, atau menyebarkan informasi yang salah,” ujar Eko.

Sementara di media sosial, tidak ada perlindungan seperti yang dimiliki media mainstream. Yang akhirnya pada saat para pemain medsos melakukan kesalahan menyebarkan informasi yang salah atau bohong, maka konsekuensinya bisa langsung dipidana dengan ancaman pidana 4 tahun.

Eko menyebutkan, yang berbahaya itu kalau hoaks diorkestrasi lewat organisasi dalam satu jaringan tertentu dan ramai-rami menyebarkan hoaks di media sosial. “Hoaks yang diorkestrasi itu sangat bahaya, karena punya konsekuensi negatif pada informasi yg diterima publik,” sebutnya.

Meski begitu, dia mengingatkan, bahwa yang harus diperhatikan juga dalam politik, si penyebar hoaks pasti tidak sendirian di medsos, karena pasti ada variable lawannya yang akan balas melawan juga. Jadi masalah ini sebenarnya anggap saja adalah sebuah proses keseimbangan.

“Itulah nikmatnya negara demokrasi, saat ada orang yang menyebarkan informasi yang diplintir, maka akan ada lawannya yang meluruskan,” ujar Eko.

Dia mengakui saat ini masih banyak orang yang mungkin terkaget-kaget dengan perdebatan yang terjadi di medsos. Tapi nantinya ke depan, orang lama-lama akan menjadi terbiasa, dan mereka akan punya cara untuk memfilter informasi-informasi yang tersebar di medsos.

Media Mainstream vs Media Sosial

Media sosial adalah konsekuensi dari perkembangan teknologi, yang akhirnya melahirkan media-media baru, karena medsos juga bisa disebut media dalam wujud yang sedikit berbeda, mengikuti perkembangan zaman.

Itu sebabnya, menurut Eko, media mainstream harus menyesuaikan diri dengan perkembangan baru ini. Jadi jangan malah dipertentangkan, karena perkembangan era digital ini tidak bisa ditahan atau dibendung. Makanya yang harus dilakukan adalah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Secara bisnis, diakuinya memang media mainstream akan banyak terpengaruh, karena kue iklannya akan berkurang jauh. Para agency iklan sekarang sudah melirik ke medsos. Iklan di Youtube dan medsos lainnya juga sudah cukup besar.

Dan harus diakui juga, sekarang orang lebih suka mencari konten yang mereka suka di medsos, ketimbang membacanya di media arus utama. Karena netizen bisa memilih konten dengan tema apa saja yang mereka inginkan, dan kapan saja mereka mau buka di medsos.

{Baca juga: Twitter Perbarui Kebijakan untuk Cegah Permainan Buzzer}

“Makanya media mainstream tidak bisa bertahan dengan platform lama saja, tetapi harus mengkombinasikan dengan medsos. Misalnya televisi sekarang harus punya channel Youtube juga, jadi ketika orang yang gak sempat nonton di televisi, bisa nonton di Youtube,” kata Eko.

Media juga harus pintar menyesuaikan diri, dan jangan bertahan dengan logika media lama, yang tidak mau perduli atau menganggap medsos sebagai pesaing. Cara pandang lama itu tidak bisa diterapkan, karena sekarang dunia sudah mengarah ke arah sana (medsos).

“Tren ini sebenarnya membawa arus baru pada cara orang melihat sebuah berita, informasi, dan juga sebuah pesan. Sehingga cara baru ini harus disiasati dengan baik oleh orang-orang yang menjalankan media mainstream. Sebaiknya malah jangan dipertentangkan media dan medsos,” imbuhnya.

Buzzer vs Media Mainstream

Keakuratan informasi

Eko menyebutkan bahwa di media sosial itu seperti free market idea, atau pasar bebas idea, sangat bebas banget. Siapapun bisa bikin akun medsos, sehingga mereka seperti bisa punya media sendiri. Tapi ia menegaskan bahwa kredibilitas di medsos tetap berlaku. Karena jika penggiat medsos terus-menerus menulis atau menyebarkan hoaks, atau informasi yang salah, mereka lama-lama tidak akan laku dan akhirnya ditinggalkan orang. Karena publik lah yang akan bertindak sebagai juri di medsos.

“Seperti misalnya dulu ada akun-akun yang sempat dianggap hebat, contohnya Trio Macan, yang sering membawa-bawa isu membongkar kasus politik, tapi ternyata tulisan mereka hanya untuk memeras orang lain. Akhirnya mereka tumbang karena tidak dipercaya publik lagi,” ujarnya.

Artinya, kepercayaan atau kredibilitas itu juga tetap penting di medsos. Karena semakin tinggi tingkat kepercayaan publik, maka tingkat influence-nya atau tingkat daya pengaruhnya kepada publik semakin tinggi.

Plagiat di Media Sosial

Sebenarnya di beberapa platform media sosial, seperti YouTube sudah ada mekanisme yang bisa memungkinkan orang untuk mengklaim hasil karyanya kalau ketahuan diambil tanpa izin. Sementara kalau di Facebook, memang tidak ada aturan seperti itu. Jadi tergantung orangnya, apakah mereka tetap memperhatikan soal masalah copyright.

“Kalau saya sih menganut asas “copyleft”, artinya saya mengizinkan orang mengambil konten tulisan saya untuk keperluan apapun, dan bahkan untuk dikomersialkan dengan memakai nama mereka, bukan nama saya, gak masalah,” kata Eko.

Ia tidak mempermasalahkan soal copyright, karena Eko merasa pada saat menulis, mungkin idenya juga tidak benar-benar original 100 persen dari dia. ”Tapi memang ada juga teman-teman yang menerapkan copyright pada tulisan atau kontennya. Itu hak mereka,” imbuhnya.

Replacement Media?

Menurut pria yang pernah menjadi pemimpin redaksi di salah satu media teknologi ini, replacement kemungkinan tidak akan terjadi antara media mainstream dengan media sosial. “Saya sih tidak yakin, karena dua-duanya akan tetap jalan,” ujar Eko.

Karena, menurut Eko, ada orang atau netizen yang gak butuh opini, karena mereka merasa sudah punya opini sendiri. Jadi mereka ini hanya butuh berita yang obyektif, makanya mereka melihat atau mencari sumber beritanya dari media mainstream.

Tapi ada juga orang yang merasa pusing atau bingung melihat berita terlalu banyak yang tersebar di luar sana, tapi mereka tetap ingin tahu update sebuah berita. Nah, orang-orang seperti ini akan memilih beberapa influencer yang mereka suka dan dianggap mempresentasikan berita yang mereka butuhkan saat itu.

Orang-orang seperti ini gak pusing melihat seluruh berita, mereka hanya cukup mengikuti satu atau dua orang influencer pilihannya, dan setelah mereka membaca opininya, maka dia akan merasa seolah-olah sudah tahu semua berita atau isu yang beredar.

“Tapi orang-orang yang punya kualifikasi tinggi, masih akan tetap mencari media mainstream sebagai rujukan sumber informasi. Itu alasannya kenapa replacement kemungkinan gak akan terjadi,” jelasnya.

Singkatnya, prinsip kerja buzzer dan media mainstream itu hampir sama. Hanya saja cara pengolahan atau ‘memasaknya’ yang sedikit berbeda, karena mengikuti perkembangan zaman.

Meski begitu, masalah yang sering dihadapi media mainstream di era digital ini adalah karena dalam menjalankan tugasnya, media masih terkungkung dengan prinsip jurnalistik. Akibatnya, si penulis berjarak dengan berita, karena mereka harus obyektif.

“Pola seperti itu di era sekarang manjadikan media mainstream terlihat kering, gak ada rasanya, tidak ada bumbunya. Padahal saat ini, publik butuh bumbu,” sebut Eko.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya media-media mainstream mencoba pendekatan personalize. Media tetap bisa mengkomunikasikan berita secara obyektif, tetapi ada ditambah pandangan personal juga.

“Karena nilai subyektifitas berita sebenarnya bukan sebuah dosa dalam produk jurnalistik. Terbukti, beberapa media opini seperti Kompasiana, Seword, dll, tetap disukai publik,” tandasnya.

Rumpi Jadi Imunisasi Hoaks

Kalau bicara soal filter, memang di medsos tidak ada filter seperti media mainstream yang tersaring di meja rapat redaksi. Kalau di medsos, filternya lebih kepada etika personal. Karena ketika seseorang mempublikasi konten yang salah atau bohong, maka ada konsekuensi hukum yang akan dia hadapi.

Lalu bagaimana jika dicurigai para pemain medsos atau buzzer itu mewakili kepentingan tertentu. Untuk melihat masalah ini, jangan dilihat dengan satu kacamata saja.

Misalnya, jika ada seorang buzzer atau influencer bermain satu isu, tidak lantas kemudian secara otomatis akan dimakan oleh publik secara linear. Misal si influencer itu bilang A maka publik akan bilang A juga. “Tidak seperti itu,” kata Eko.

Jadi, seharusnya cara melihat komunikasi tidak seperti itu, karena komunikasi sifatnya singular karena banyak item di dalamnya. Ketika seseorang melempar isu hoaks, maka sebenarnya dia tidak akan bekerja sendiri, karena akan ada anti hoaks yang akan melawan. Bakal ada orang lain lagi yang akan meluruskan, dan ada yang setuju atau tidak setuju, yang akhirnya akan terjadi perdebatan publik.

“Kita tidak perlu takut, kalau ada yang mengatakan masyarakat kita akan digiring menjadi masyarakat hoaks, sebenarnya gak juga. Mungkin kita sering melihat banyak hoaks beredar di medsos, tapi tidak usah takut, karena sekarang sebenarnya orang sudah punya imunnya kok,” jelas Eko.

Dia menyebut, orang Indonesia itu sudah punya imunisasi hoaks. Dan itulah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain. Seperti Amerika misalnya, mereka justru lebih rentan hoaks, karena masyarakatnya gak suka ngerumpi.

“Orang Amerika itu kalau mendapatkan informasi, mereka malas mengkomunikasikannya di medsos, karena gak doyan ngerumpi,” tukasnya.

Sementara Indonesia, tingkat rumpinya atau tingkat keriuhannya tinggi. Sehingga secara tidak langsung, informasi yang beredar itu terkonfirmasi dengan sendirinya, apakah berita itu hoaks atau bukan.

Salah satu contohnya adalah kasus Ratna Sarumpaet, dimana saat itu hoaks nya terbongkar karena tingkat rumpi publik di Indonesia yang sangat tinggi. “Coba seandainya saat itu masyarakat gak ngerumpi, mungkin foto atau informasi tentang Ratna Sarumpaet itu bisa menjadi kebenaran,” sebut Eko.

“Makanya seperti tadi sudah dikatakan bahwa masyarakat itu sudah punya “imunisasi” hoaks, karena tingginya tingkat ngerumpi masyarakat Indonesia yang bisa menjadi imunisasi bagi penyebaran hoaks yang berbahaya. “Itulah yang menarik dari medsos di Indonesia,” pungkasnya.

Media Tak akan Mati, Hanya Berubah Bentuk

Di era digital seperti sekarang, banyak sekali informasi yg tersebar di media sosial, tanpa tahu sumbernya dari mana. Alhasil, masyarakat terkadang menjadi bingung harus percaya dengan siapa.

Banyak informasi yang sering kali membuat kita hidup dalam ketidakpastian. Masyarakat pun dipaksa menentukan sendiri harus percaya dengan siapa. Persoalannya sekarang adalah siapa yang bisa menguasai informasi dan opini publik, dia lah yg dianggap benar.

Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism, yakni seolah-olah yang paling populer itulah yang benar, padahal kebenaran itu bukan soal populer atau tidak.

Di saat itulah, peran media yang masih memegang teguh prinsip jurnalistik akan hadir, dan menjadi rujukan masyarakat dalam mencari kebenaran sebuah informasi.

{Baca juga: Buzzer Politik di Medsos Tak Dilarang Kominfo, Asal…}

Benturan antara buzzer dan media mainstream, seharusnya tidak perlu terjadi, karena keduanya bisa saling linear dalam bekerja, sesuai dengan peran dan porsinya masing-masing.

Sebagai “pemain lama”, media mainstream tak perlu panik dengan kehadiran media sosial yang diwakili para buzzer atau influencer, yang kini seakan nampak lebih dominan. Karena kehadiran media mainstream masih sangat dibutuhkan sebagai sumber rujukan masyarakat yang haus akan informasi yang obyektif.

Sejatinya media mainstream tidak akan pernah mati, tapi hanya akan berubah bentuk menyesuaikan zamannya. Media mainstream jangan melihat media sosial sebagai ancaman, tapi sambutlah mereka sebagai ‘tetangga baru’ yang seiring sejalan di era digital, meskipun mereka adalah “tetangga yang berisik”. [HBS]

Simak video wawancara lengkap dengan Eko Kuntadhi, penggiat media sosial soal fenomena buzzer di Indonesia:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI
ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI