Telset.id, Jakarta – Intel terlibat masalah. Perusahaan multinasional yang berpusat di Amerika Serikat dan terkenal dengan rancangan serta produksi mikroprosesor tersebut dalam penyelidikan kasus dugaan diskriminasi karyawan. Seperti apa ceritanya?
The Verge melaporkan, Intel diduga memberi perlakuan berbeda terhadap karyawan tua dan karyawan muda. Menurut informasi, karyawan tua di Intel terancam disingkirkan alias dikeluarkan dari perusahaan. Intel hanya ingin mempertahankan karyawan yang berusia muda.
Menanggapi kabar itu, Intel mengonfirmasi bahwa manajemen tidak melihat demografi orang per orang saat melakukan pemutusan hubungan kerja. Intel juga mengaku tidak pernah mempertimbangkan faktor usia dalam merekrut karyawan baru pada dua tahun lalu.
“Usia, ras, asal-usul negara, jenis kelamin, status imigrasi, maupun demografi pribadi sama sekali tidak memengaruhi kami dalam membuat kebijakan, termasuk dalam perekrutan karyawan. Kami mengambil pegawai berdasarkan kemampuan,” tegas pihak Intel.
Kendati demikian, tinjauan dokumen internal Intel mengungkapkan bahwa dalam satu periode ada 2.300 karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja. Rata-rata, usia mereka telah memasuki 49 tahun, tujuh tahun lebih tua daripada staf yang masih tersisa di Intel.
Pengawas federal akan menindaklanjuti kasus dugaan diskriminasi oleh Intel. Bahkan, Pengawas federal akan melakukan gugatan hukum jika memang menemukan bukti kuat terkait dugaan itu. Apalagi, kasus serupa juga terjadi di banyak perusahaan teknologi lain.
Januari 2018 lalu, seorang mantan karyawan mengajukan tuntutan hukum karena menganggap Google telah melakukan diskriminasi dalam proses perekrutan. Google dituding hanya mencari pelamar wanita, berkulit hitam, dan Hispanik atau Latin saat membuka lowongan pekerjaan.
Arne Wilberg, yang bekerja sembilan tahun di Google, mengajukan tuntutan dan laporan kasus baru diungkapkan pada 2 Maret 2018. Wilberg mengklaim bahwa Google menerapkan kebijakan tak sesuai dalam rekrutmen pegawai, yakni mengutamakan nonpria kulit putih dan Asia.
Maret 2018, Uber juga mau tak mau membayar gugatan class action sebesar USD 10 juta atau setara Rp 137 miliar karena terbukti melakukan diskriminasi terhadap karyawan dari kelompok minoritas dan perempuan. Gugatan diajukan sejak Oktober 2017 lalu.
Baca juga: Bahaya! Bug Spectre-NG Serang Prosesor Intel
Gugatan kepada Uber mewakili 420 orang perempuan dan kulit berwarna yang dipekerjakan kembali sebagai insinyur perangkat lunak pada 2013. Chronicle melaporkan bahwa perusahaan juga telah setuju untuk mengubah cara mengelola kompensasi dan promosi.
Gugatan kepada Uber menyatakan bahwa perempuan, karyawan kulit hitam, dan keturunan Amerika Latin tidak diberi kenaikan gaji, bonus, serta saham. Bahkan, mereka tidak pula mendapat tunjangan yang sama dengan rekan kerja pria dan kulit putih atau Asia.
Sumber: The Verge