Utak-atik Strategi Pemain China, Harga atau Inovasi?

OnePlus memamerkan beragam mock-up desain yang rencananya menjadi model OnePlus 5, tetapi akhirnya memilih model yang mirip dengan iPhone 7 Plus. Desain yang sama dimiliki oleh Oppo R11. Pilihan yang agak aneh untuk OnePlus, karena versi sebelumnya OnePlus pertama dan ke-2 memiliki desain yang khas OnePlus, (walau versi ke-3 desainnya lebih mirip Samsung).

Sepertinya hal ini dilakukan untuk menghemat biaya pembuatan casing dan desain, bergabung dengan Oppo. Sebelumnya juga mereka sudah memakai teknologi yang sama untuk charger, hanya dengan penamaan berbeda, Oppo menggunakan nama VOOC charger, dan OnePlus menggunakan nama Dash Charger.

Kemungkinan salah satu alasan memilih desain ini adalah untuk “menempel” iPhone, selain membuat orang lebih mudah mengenalinya, juga sebagai salah satu umpan, agar banyak dibicarakan media, dan ini menambah popularitas secara gratis.

Jika kita merunut setiap flaghship Xiaomi atau OnePlus, jarang sekali ada terobosan baru atau bisa dikatakan inovasi yang ada di smartphone tersebut. Sisi menariknya selalu spesifikasi tinggi dan harga murah. Tidak ada layar lengkung, 3D touch, squeezeable body, always on display, add on mods, dedicated VR dan AR, dual camera, tahan air, layar anti pecah, dan lain-lain. Bahkan beberapa smartphone Xiaomi termasuk hi-end nya tidak tahan bend test.

Sebenarnya ada inovasi yang dicoba Xiaomi, seperti 4 axis OIS yang secara teori harusnya sangat stabil, tetapi dalam implementasinya tidak sebaik teori. Kemudian sampai saat ini Xiaomi terlihat masih sendiri mengembangkan body dari bahan keramik, prosesnya memang membutuhkan teknologi yang lebih tinggi. Keramik ini bahan yang lebih tahan gores, hanya saja kelemahannya lebih mudah pecah ketika terjatuh, dibanding bahan kaca yang diperkuat seperti Gorilla Glass.

Dengan desain yang hampir seluruh badannya terbalut layar, Mi Mix sebenarnya adalah contoh pencapaian yang sangat baik dari Xiaomi dalam hal inovasi, dan berhasil membuat serangkaian apresiasi dan perhatian dunia. Hal ini menunjukkan produk dari China juga sudah berorientasi pada desain yang bagus, ditengah miripnya model smartphone yang diproduksi, terutama oleh pabrikan China.

Desain cantik Mi Mix merupakan karya desainer kondang, Philippe Starck. Memang hal yang biasa pabrikan bekerjasama dengan desainer luar untuk mendapatkan inspirasi baru, juga bisa memanfaatkan ketenaran sang desainer. Sayangnya Mi Mix ini di set sebagai hi-end tetapi tidak lengkap secara performa, misal hasil kamera yang biasa-biasa saja.

Hasil gambar untuk galaxy s8 vs iphone 8 vs xiaomi mi mix 2

Memang tidak ada smartphone yang sempurna sampai saat ini, tetapi melihat beberapa kali smartphone Xiaomi di-release, banyak fitur-fitur unggulan yang belum matang. Arena persaingan smartphone Android memang berat, jika teknologi baru terlalu lama dikeluarkan, sudah didahului brand lain.

Jika terlalu cepat, seringkali teknologinya belum matang. Berbeda dengan Apple yang tidak perlu bersaing dengan brand lain dalam ekosistem, sehingga 2-3 tahun kemudian baru me-release teknologi yang sudah ada pada smartphone lain, masih terasa relevan.

Kematangan inovasi ini bisa dicapai dengan R&D yang baik. Brand sekelas Xiaomi terpecah perhatiannya tidak hanya harus berinovasi dari smartphone, tetapi kepada perangkat lain yang coba mereka lengkapi, dari scooter hingga penanak nasi dan filter air.

Ini membutuhkan biaya R&D yang lebih besar lagi, sementara pendapatan terbesar masih dari sektor smartphone. Margin yang kecil berarti juga biaya R&D yang kecil, sehingga produk-produk yang dihasilkan harus “play safe”, hanya berkutat pada satu sisi. Sebagian spesifikasi harus terlihat superior, dan inovasi lebih bergantung pada inovasi yang dimiliki pembuat chipset atau SoC.

Xiaomi dan OnePlus “terpaksa” mengalihkan biaya utama kepada chipset dan RAM dan tidak terlalu mementingkan yang lain. Bahkan RAM yang besar ini seperti mengulang lagi iming-iming megapixel kamera, semakin besar semakin baik. Padahal dalam penggunaan sehari-hari belum tentu RAM besar ini bermanfaat optimal, apalagi melihat OS OnePlus yang lebih ke OS standa, tidak membutuhkan loading banyak aplikasi khusus yang harus mereka jalankan dari awal.

Banyak jalan pintas yang harus diambil untuk stand out, seperti yang pernah dituduhkan pada OnePlus, yakni soal cheating atau rekayasa dalam hasil benchmark speed. Untuk terlihat lebih unggul dari brand global, cara termudah adalah hasil benchmark yang kencang, sehingga terbentuk pikiran di banyak orang bahwa ini faktor terpenting. Saat ini brand global sendiri sudah move on dari pertarungan benchmark, dan lebih fokus pada fitur baru, kualitas, dan kemudahan untuk pengguna.

Harga murah bagaimanapun sudah menjadi marketing yang bisa menjual dirinya sendiri. Sebagian besar orang menimbang dari segi harga, dan harga yang murah, apalagi reputasi baik, sudah bisa menjual dengan sendirinya.

Tetapi jika terus dipertahankan, selalu butuh waktu bagi brand tersebut untuk menggunakan teknologi terbaru, sementara brand-brand global yang sudah mendapat kepercayaan konsumen menjual device-nya dengan harga yang lebih tinggi, tetapi bisa menyematkan teknologi terbaru.

Teknologi terbaru ini, misal storage yang lebih kencang, RAM yang lebih cepat, layar AMOLED resolusi tinggi, dan lain sebagainya. Saat pertama di-release akan mahal harganya, selain biaya R&D karena produksinya biasanya masih terbatas. Setelah beberapa waktu, harga teknologi ini cenderung turun, karena produksi yang sudah cukup banyak, biaya R&D yang sudah tercover, dan sudah ada teknologi lebih baru lagi.

Saat harga lebih terjangkau, baru teknologi ini dapat digunakan brand seperti Xiaomi atau OnePlus karena ketatnya rencana harga. Beruntungnya, seringkali teknologi baru ini hanya dimiliki segelintir brand global, dan konsumen seringkali belum mengerti benar gunanya, karena teknologi baru juga membutuhkan waktu untuk diadaptasi, sehingga saat digunakan brand dari China, teknologi ini masih terasa belum usang.

Butuh waktu hampir 2 tahun brand China menggunakan internal storage type baru yang sudah dimiliki Samsung, dan sudah hampir 3 tahun sejak layar lengkung diperkenalkan, masih sulit kita menemukan layar lengkung pada smartphone China. LG dan Samsung sudah memperkenalkan rasio standar layar baru yang akan segera diikuti Google Pixel, smartphone brand China masih belum memikirkan layar yang bisa menampilkan konten HDR.

Pertanyaannya, jika terus begini, berarti secara inovasi sulit bagi brand China mengejar brand global secara inovasi. Brand China yang bertahan dengan harga murah akan selalu menguntit dari belakang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI
ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI