Telset.id, Jakarta – Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) menilai polemik terkait peraturan interkoneksi dan network sharing harus segera dihentikan pemerintah, karena masih banyak pekerjaan rumah lebih besar yang belum tuntas.
Johni Siswadi dari Mastel Institute, sekaligus Advokat Pusat Informasi Hukum Indonesia (PIHI) mengatakan, pekerjaan rumah yang utama adalah implementasi percepatan pita lebar di Indonesia yang baru berjalan guna perluasan akses telematika merata di semua wilayah.
“Itu yang harus kita kejar karena dibutuhkan saudara kita di daerah marjinal dibandingkan implementasi interkoneksi dan network sharing yang kini berlarut-larut. Jadi, interkoneksi terapkan asimetris dan network sharing itu jangan mandatory,” kata Johni Siswadi dalam keterangan resminya, Sabtu (22/10/2016).
Dengan asimetris, kata dia, terjadi keadilan dan kesetaraan dari perspektif hukum. Sebab, operator yang memiliki jaringan luas dan memakan biaya investasi dan operasional besar, maka biaya interkoneksinya akan semakin tinggi.
Sebaliknya , semakin sempit jaringan suatu operator, maka akan semakin kecil pula biaya jaringannya. Bila menggunakan simetris dalam penerapannya, maka penentuan tarif tidak berdasarkan biaya jaringan setiap operator sehingga tidak tercipta keadilan dan keseimbangan.
“Dan ini juga sesuai komitmen pemberian frekuensi seluler dari pemerintah, yang mana disertai komitmen pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Jadi wajar asimetris karena berbanding lurus dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan operator di lapangan,” katanya.
Menurut dia, justru selama ini relatif tidak ada informasi mengapa operator non Telkom Grup tidak memenuhi kewajiban pembangunan berbasis pemberian frekuensi tersebut. Tiba-tiba saja dinilai banyak pihak diuntungkan regulasi interkoneksi terbaru, sehingga wajar jika banyak resistensi.
Sementara untuk regulasi network sharing, Mastel menilai, biarkan sesama operator seluler mengatur sendiri (business to business/B2B). Jadi, jangan diwajibkan pemerintah untuk membuka jaringannya.
“Serahkan saja ke operator secara B2B, jangan mandatory. Ini terjadi ketidakadilan hukum jika operator dipaksa buka namun tidak baik secara bisnis. Bagaimanapun, butuh investasi tidak sedikit untuk punya jaringan luas dan menyebar,” terang Johni.
Menurut Johni, jika dipaksa, potensi merugi operator juga otomatis akan tinggi karena pendekatannya pemaksaan regulasi bukan kesetaraan regulasi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan seluruh pihak.
“Saya tegaskan rekomendasi ini bukan karena ada operator saham mayoritas Indonesia dan asing. Ketika sudah berbadan hukum di Indonesia, maka keadilan hukum harus diutamakan,” sambungnya.
Menurut Johni, pemerintah juga harus lebih concern urusan lainnya yang lebih besar yakni memungut pajak dari Over The Top (OTT) seperti Google dan Facebook. Sebab penerimaan negara tidaklah sebanding dengan potensi bisnis yang diraih OTT yang beroperasi di Indonesia.
Selain soal pajak, dia melihat bahwa kedaulatan informasi sudah seperti menyerahkan leher ke pihak luar Indonesia untuk kemudian dikapitalisasi data personalnya kemudian hari.
Akademisi Nachwan Mufti merekomendasikan perlunya penataan regulasi dituangkan dalam bentuk roadmap regulasi yang ditetapkan dalam bentuk Peraturan Menteri (PM). Dengan begitu, pemerintah dapat memegang kendali penuh terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi yang berpihak kepada kepentingan bangsa dan masyarakat, sekaligus mengakomodasi perkembangan teknologi.
“Roadmap regulasi ini perlu karena regulasi yang berlaku di Indonesia memiliki hierarki berjenjang, terdiri dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah (Perda), sehingga setiap regulasi tidak dapat saling bertentangan,” katanya.
Moderator seminar yang juga praktisi telematika Ahmad Nugraha Rahmat menambahkan, kedaulatan telematika menjadi kian vital di era konvergensi digital saat ini.
“Bahkan muncul anekdot, saking pentingnya dan tingginya resiko, jabatan Menteri Pertahanan harus rangkap jabatan Menkominfo karena demikian tingginya serangan siber dan sengketa informasi ke depannya,” ujar Ahmad.
Ahmad menambahkan, penataan yang lebih substansial diperlukan karena Presiden Jokowi sudah menegaskan jika industri telematika akan jadi key enabler seluruh industri menuju visi pemerintah jadikan Indonesia sebagai digital economy country tahun 2020.
Karenanya, diperlukan percepatan revisi UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi yang sudah berumur 17 tahun dan dinilai sudah kurang mengakomodir perkembangan terkini pada industri tersebut, sehingga revisi UU 36/1999 tentang Telekomunikasi dapat memberikan kepastian investasi bagi pelaku industri telekomunikasi.
“Jika perubahan regulasi dilakukan parsial, baik revisi PP/PM sebagai regulasi transisi, dikhawatirkan terjadi tumpah tindih pengaturan yang membuat pelaku industri telekomunikasi kebingungan. Belum dengan potensi muatan materi PP/PM yang bertentangan dengan muatan materi dalam UU 36/1999 yang masih berlaku,” pungkasnya. [HBS]