Telset.id, Jakarta – Sejumlah pengamat telekomunikasi dan analis ekonomi tidak sependapat dengan rencana Kementerian Kominfo yang akan menurunkan tarif interkoneksi dengan pola simetris. Turunnya biaya interkoneksi justru membuat operator malas membangun jaringan, dan akan berpotensi terhambatnya pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia.
Seperti diketahui, Kementerian Kominfo ngotot ingin menurunkan biaya interkoneksi dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit dengan pola simetris. Alasannya, penurunan dengan pola simetris akan membawa manfaat bagi industri telekomunikasi di Indonesia.
Ekonom Leonardo Henry Gavaza CFA tidak sependapat dengan alasan tersebut. Menurutnya, penurunan biaya interkoneksi yang dilakukan pemerintah tidak memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia.
“Justru penurunan biaya interkoneksi ini akan membuat operator yang malas membangun infrastruktur menjadi lebih malas lagi membangun,” kata ekonom yang juga analis saham dari PT. Bahana Securities ini.
Pendapat senada diungkapkan Fahmy Radhi, pengamat ekonomi dan bisnis Universitas Gajah Mada (UGM), yang mengatakan bahwa penurunan tarif interkoneksi hanya menguntungkan segelintir operator.
[Baca juga: Tarif Intekoneksi Turun, Siapa Untung?]
Selain itu, menurut Fahmi, penurunan biaya interkoneksi akan berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi.
Dengan biaya interkoneksi ditetapkan pemerintah di bawah harga pokok penjualan (HPP), operator pemilik jaringan akan dirugikan. Sedangkan, operator pengguna jaringan akan diuntungkan oleh kebijakan penurunan tarif interkoneksi tersebut.
Seharusnya dalam menetapkan HPP, pemilik jaringan biasanya menggunakan basis biaya (cost base) yang memperhitungan pengeluaran investasi (Capital Expenditure) dan biaya operasional (Operational expenditure).
“Sedangkan, operator pengguna jaringan hanya mengeluarkan biaya interkoneksi yang ditetapkan pemerintah. Dan pada akhirnya akan mengakibatkan operator yang malas membangun akan semakin malas membangun,” terang Fahmy.
Sementara itu, Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung, Ian Joseph Matheus Edward berpendapat, bahwa aturan Kominfo mengenai penurunan biaya interkoneksi tidak masuk akal.
Selain prosedur yang tidak sesuai aturan, menurut Ian, penetapan biaya interkoneksi tersebut tidak memiliki naskah akademis yang melandasi penetapan biaya interkoneksi menjadi Rp 204.
Dalam PP 52 tahun 2000 pasal 23 ditulis interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan disepakati bersama dan adil. Ini artinya penetapan biaya interkoneksi harus transparan harus menggunakan perhitungan berbasis biaya (cost base) dan disepakati bersama oleh seluruh operator. Tanpa terkecuali.
“Jadi jika kita mengacu pada PP 52 tahun 2000 yang mengatakan biaya interkoneksi harus disepakati bersama, maka semua operator harus setuju. Jika ada salah satu operator yang tidak setuju, maka aturan tersebut harus batal demi hukum,” papar Ian.
Selain menggunakan metode perhitungan cost base, seharusnya dalam penetapan biaya interkoneksi, pemerintah harus memasukan biaya pembangunan (CAPEX), unsur resiko, quality of service dan biaya operasional.
Ian menjelaskan CAPEX untuk pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah yang rural, remote area dan terpencil memakan biaya yang tidak sedikit. Sehingga, menurut Ian, sangat tidak fair jika pemerintah menetapkan biaya interkoneksi dengan pola simetris.
Memang secara teoritis, penetapan tarif interkoneksi secara pola simestris akan mencapai efisiensi di pasar. Namun dengan satu syarat, yaitu coverage jaringan sudah menjangkau seluruh wilayah di suatu negara dan mencapai keseimbangan jaringan antar operator.
Jika keseimbangan jaringan belum terpenuhi, kebijakan penetapan tarif interkoneksi secara simetris akan menyebabkan blunder bagi industri telekomunikasi. Tidak hanya menghambat pembangunan jaringan, tetapi juga menciptakan persaiangan tidak sehat, sehingga tidak sesuai dengan tujuan Pemerintah dalam menetapkan tarif interkoneksi.
Hampir semua negara-negara Eropa memang sudah menetapkan tarif interkoneksi secara simetris lantaran tingkat coverage jaringan sudah mencapai antara 90 persen hingga 100 persen. Swiss dan Kroasia sudah mencapai 100 persen, Austria, Yunani, Portugal dan Perancis 99 persen, Italia dan Spanyol 98 persen, Inggris 95 persen, dan Jerman 92 persen.
Demikian pula dengan dua negara ASEAN, Thailand sekarang tingkat coverage jaringannya sudah mencapai 97 persen dan Malaysia juga sudah 95 persen.
Ian menjelaskan bisa saja pemerintah mengatakan biaya pembangunan dibuat nol setelah sekian puluh tahun. Namun yang harus diingat pemerintah adalah, operator harus mengeluarkan biaya operasional, menjaga kualitas jaringannya dan upgrade teknologi.
“Logikanya komponen tersebut membutuhkan biaya yang besar. Hal itu harus menjadi perhatian pemerintah dalam menetapkan biaya interkoneksi,” imbuhnya.
Lebih jauh Ian mempertanyakan, jika Kominfo mengabaikan semua komponen tersebut dalam penetapan biaya interkoneksi, maka siapa yang harus bertanggung jawab dalam membangun dan memelihara jaringan telekomunikasi dikemudian hari?
“Jadi jangan sampai mementingkan segelintir operator, kepentingan nasional dikorbankan,” tandas Ian menutup perbincangan. [MS/HBS]